Selasa, 06 Oktober 2009

WAKTU DALAM LITURGI

Waktu dalam Liturgi

Oleh: Sdr. Arnold Dachi (dari Situs Kapusin Sibolga)


Pengantar

Kita sering mendengar ungkapan time is money. Hal ini menunjukkan betapa waktu merupakan sesuatu yang penting bagi hidup manusia dan hidup manusia itu sendiri berjalan dalam waktu. Peredaran waktu berhubungan erat dengan peredaran berjuta planet di angkasa raya. Peredaran planet-planet tersebut menjadi pangkal pengetahuan manusia untuk menghitung waktu (tahun, bulan, minggu, hari dan jam).

Waktu juga merupakan suatu misteri dalam hidup manusia. Di satu sisi, pengalaman hidup manusia berjalan dari lahir menuju kematian, dari masa muda ke masa tua. Di sisi lain, manusia tidak dapat menetapkan suatu waktu (kaya atau miskin, sakit atau sehat). Hal ini menjadi tanda bahwa semuanya bergerak dan mengalir.

Dalam setiap agama dimensi waktu dari perjalanan hidup manusia merupakan suatu urutan yang penting. Di dalamnya dilihat bahwa karya Allah terlaksana. Maka, manusia mengatur sikap-sikap religius. Manusia menciptakan upacara keagamaan untuk berbagai kepentingan, misalnya untuk mengucapkan syukur, memohon berkat, dan lain sebagainya. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang waktu, secara khusus waktu dalam kekristenan.

1. Sistem Kalender Umum (Sipil)

Istilah “kalender” berasal dari bahasa Latin, calendae (yang bentuk kata kerjanya berasal dari kata ‘calare’ yang berarti mengundang berkumpul). Dalam hal ini kalender menunjuk hari pertama dari bulan. Sistem kalender sudah ditemukan sejak tahun 4000-3000 sM. Pembagiannya secara umum berdasarkan dua tipe, yaitu: berdasarkan peredaran Bulan (lunar) atau peredaran Matahari (solar).

Sistem kalender yang kita pakai sekarang merupakan penanggalan yang dibuat oleh Julius Caesar pada tahun 46. Kalender Julian ini disusun berdasarkan pada peredaran Matahari, dimana satu tahun terdiri atas 365 hari, dan sekali dalam 4 (empat) tahun ada tahun Kabisat. Tahun baru penanggalan Julius Caesar ini dimulai setiap tanggal 1 Januari. Tahun baru tersebut menggantikan tahun baru (1 Maret) dalam kalender Romawi kuno.

1.1 Asal-usul (penamaan) Hari dan Bulan

1.1.1 Hari-hari dalam Minggu

Nama-nama hari dan jumlah hari dalam sepekan yang kita kenal sekarang diambil dari Kalender Augustan. Kalender tersebut menyusun nama dan jumlah hari berdasarkan nama dan jumlah planet yang dikenal waktu itu. Hal itu disusun sebagai berikut: Saturnus (Saturn-day), Surya (Sun-day), Bulan (Mon-day), Mars (Tues-day), Merkurius (Wednesday/Woden-day), Jupiter (Thurs-day), Venus (Fri-day).

Di samping itu juga, nama-nama hari berkaitan erat dengan nama-nama dewa. Misalanya ialah Sunday didedikasikan kepada dewa Matahari. Dalam paham kekristenan, pada abad IV, Kristus dipandang sebagai ‘Matahari sejati.’ Oleh karena itu, Sunday disebut juga dengan Dies Dominica; Tuesday didedikasikan kepada dewa perang Tiu; Wednesday dianggap sebagai hari dewa Wotan, pengganti dewa Mercuri (pembawa pesan kepada dewa-dewa lain); Thursday sebagai hari dewa Thor; Friday sebagi hari dewi Freja, istri dewa Wotan; dan Saturday sebagai hari dewa Saturnius, dewa pertanian.

Karena pengaruh kekristenan dan agama Surya, sekitar abad I, hari pertama diubah dari Saturnus ke Surya. Maka urutannya sebagai berikut hari Surya ialah Minggu; hari Bulan ialah Senin; hari Mars ialah Selasa; hari Merkurius ialah Rabu; hari Jupiter ialah Kamis; hari venus ialah Jumat; hari Saturnus ialah Sabtu.

1.1.2 Bulan

Januari disebut bulan Januarius. Dalam tradisi Romawi, bulan ini didedikasikan kepada dewa Janus. Ia adalah dewa penjaga pintu, gerbang. Ia juga dipandang sebagai dewa yang sanggup meramalkan masa depan dan mengingat masa lampau. Maka, bulan Januari dipandang sebagai Tahun baru (dalam kalender internasional saat ini). Disebut awal tahun baru, karena bulan ini dipandang sebagai titik pangkal untuk melihat masa depan dan mengingat kembali apa yang telah lewat.

Februari disebut bulan Februarius. Nama Februari diambil dari nama Februa. Dalam tradisi Romawi kuno, Februa merupakan pesta atau perayaan akhir tahun sebab Maret adalah awal Tahun baru. Masa ini disebut juga sebagai masa tobat dari kesalahan sehingga masa ini dapat juga disebut masa untk mempersiapkan diri untuk menyambut Tahun baru dengan hati yang baru. Dalam perkembangan kekristenan selanjutnya bulan ini disebut masa Pra-Paskah. Masa ini adalah masa tobat untuk mempersiapkan diri menyambut hari kebangkitan Tuhan.

Maret adalah bulan Martius. Tradisi Romawi menyebutkan Martius sebagai dewa perang. Oleh karena itu, masa ini dipandang sebagai masa kemenangan dan Tahun baru.

April adalah bulan Aprilis. Cirikhas dari bulan ini ialah berbagai bunga tumbuh dan mekar. Hal ini menunjukkan suatu kehidupan yang tumbuh dan berkembang. Dalam kekristenan masa ini merupakan masa kebangkitan Tuhan (Paska), peralihan dari kematian kepada kehidupan.

Mei adalah bulan Majus. Dalam tradisi Romawi, bulan ini adalah bulan dewa kesuburan dari Majus. Dalam mitos Hellenis, Maia adalah ibu dari dewa Hermes. Dalam tradisi kekristenan, Mei dedikasikan kepada Maria, Bunda Yesus Kristus. Maka bulan ini juga disebut sebagai bulan Maria.

Juli disebut bulan Quintilis ( 5 bulan setelah Maret). Bulan ini diterima juga sebagai ‘bulan Julius’ sebab diambil dari nama Julius Caesar . Demikian halnya dengan bulan Augustus (dari bulan Sextilis: 7 bulan sesudah bulan Maret) diambil dari nama Kaisar Gaius Oktavius Augustus, pengganti Julius Caesar.

September adalah bulan Septembris (septem, artinya tujuh), bulan ketujuh sesudah Maret. Oktober (octo, artinya delapan) adalah bulan kedelapan sesudah Maret. November (novem, artinya sembilan) adalah bulan kesembilan sesudah Maret. Desember (decem, artinya sepuluh) adalah bulan kesepuluh sesudah Maret.

2. Liturgi Kristen dan Waktu

2.1 Pemahaman orang Kristen tentang waktu

Ada 3 (tiga) bentuk pemahaman tentang waktu yang dikenal orang secara umum. Ketiganya tidaklah secara keseluruhan diterima oleh orang Kristen. Paham mengenai waktu itu antara lain:

2.1.1 Pemahaman tentang waktu linear

Bentuk waktu linear bagaikan suatu garis lurus yang menunjukkan suatu awal hingga akhir. Di dalamnya segala sesuatu yang terjadi tidak akan mungkin terjadi kembali atau dengan kata lain bahwa apa yang telah terjadi pada masa lampau tidak akan mungkin terulang kembali pada saat kini dan pada masa yang akan datang. Dalam kekristenan, bentuk waktu yang demikian tidak diterima sebab orang Kristen percaya bahwa peristiwa Kristus tidak hanya terjadi pada masa tertentu saja, tetapi berlangsung sepanjang segala waktu.

2.1.2 Pemahaman tentang waktu siklus

Dalam paham ini waktu dilihat bagai suatu lingkaran. Segala sesuatu bergerak mengelilingi suatu pusat. Di dalamnya segala sesuatu yang telah terjadi dapat terulang kembali pada masa kini dan pada masa yang akan datang. Bagi orang Kristen, inilah peristiwa Kristus. Tetapi yang tidak diterima ialah kenyataan bahwa segala sesuatu hanya mengelilingi pusat saja atau hanya bersifat pengulangan peristiwa saja. Orang Kristen, sebagai Gereja peziarah, percaya bahwa mereka berada pada jalan menuju suatu tanah air abadi, dan suatu saat mereka akan mencapai tujuannya yakni tinggal bersama Allah sepanjang masa.

2.1.3 Pemahaman tentang waktu spiral

Dalam paham ini waktu dilihat bagaikan suatu garis lurus vertikal yang menunjukkan awal hingga akhir dan segala sesuatu bergerak mengelilingi garis tersebut dan maju hingga pada level yang lebih tinggi. Demikianlah orang Kristen mengenal Tahun Liturgi. Di dalamnya dilihat bahwa peristiwa Kristus hadir kembali dalam kumpulan umat beriman dan dalam sakramen-sakramen Gereja. Dengan perayaan sakramen-sakramen itu, orang Kristen bergerak dan menuju suatu tujuan akhir, yakni hidup bersama Allah selamanya (bdk. SC.102).

2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kalender Kristen

Terbentuknya kalender Kristen tidaklah terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya dan hal itu berlangsung dari abad ke abad. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kalender Kristen tersebut, yaitu:

2.2.1 Budaya dan Kepercayaan Yahudi

Allah menempakkan diri dalam diri Yesus Kristus. Melalui peristiwa inkarnasi, Allah menjadi manusia. Para murid Yesus adalah orang Yahudi dan hidup sebagai jemaat Kristen-Yahudi perdana. Maka tidak mengherankan bahwa kepercayaan Yahudi, peraayan-perayaan dan peste-pestanya mempengaruhi pembentukkan liturgi orang Kristen dan susunan pesta-pestanya. Misalnya ialah Sabbath (artinya ialah berhenti bekerja atau beristirahat). Sabbath merupakan mahkota hari-hari sepekan bagi orang Yahudi. Hari Sabbath adalah hari istirahat (hari ketujuh) yang dikhususkan bagi Yahwe dan Sabda-Nya. Hari Sabbath berhubungan erat dengan penciptaan dunia (Kel. 20:8-11).

Selanjutnya ialah Paskah (dalam bahasa Ibrani disebut dengan Pesakh, artinya ialah melewatkan) merupakan peringatan atas pembebasan Israel dari pebudakan Mesir. Paskah, dalam paham Kristen selanjutnya, berkembang dan dimengerti sebagai pengenangan peristiwa kebangkitan Kristus.

Contoh yang lain lagi ialah Pentakosta (artinya ialah yang kelima puluh). Pentakota merupakan pesta syukur atas panen gandum. Perayaannya dirayakan dengan berbagai kurban persembahan. Namun, dalam perkembangan kekristenan selanjutya Pentakosta dimengerti sebagai hari turunnya Roh Kudus.

2.2.2 Budaya Hellenis-Romawi

Pengaruh kebudayaan Romawi dalam perkembangan liturgi Kristen ialah perayaan liturgi yang dilaksanakan dalam bahasa Latin, penghormatan Salib pada Jumat Agung, pakaian-pakaian liturgi, penghormatan orang kudus. Tanggal 25 Desember, dalam tradisi Romawi-Hellenis merupakan hari raya dewa Matahari, dewa yang memberi kehidupan bagi umat manusia. Dalam perkembangan Kristen selanjutnya (abad IV) oarng Kristen mengambilalih tanggal ini dan memberi arti baru: Kristus adalah Matahari sejati. Dialah pembawa terang dan kehidupan.

2.2.3 Budaya Jerman

Pada abad VII dan awal abad VIII, perayaan-perayaan liturgi Kristen-Romawi tersebar di wilayah luar Roma bahkan melewati pegunungan Alpen, yakni daerah Gallia-Perancis. Bentuk perayaan Romawi itu dipengaruhi oleh kebudayaan Jerman sehingga terbentuklah peryaan Romawi campur Jerman. Pada abad X bentuk perayaan Romawi-Jerman ini dibawa kembali ke Roma sehingga sejak itu liturgy Romawi sudah ada unsur Jermannya.

3. Tahun Liturgi

Dalam sejarah liturgi Gereja istilah “Tahun Liturgi” lama tidak dikenal. Pada awalnya yang dipakai ialah ‘Tahun Gereja.” Istilah ini diperkenalkan oleh Johanes Pomarius, seorang ahli liturgi dari Gereja Lutheran pada tahun 1589. Namun pada abad XVII-XVII di Perancis, istilah yang dipakai ialah ‘Tahun Kristen’, kemudian menyusul istilah ‘Tahun Spiritual.’ Lambat laun, dalam perkembangan selanjutnya, pada abad XIX, Gereja Katolik memakai istilah Tahun Liturgi. Pemakaian istilah ini diresmikan dalam Ensiklik Paus Pius XII, Mediator Dei (1948). Hal ini juga kemudian digunakan dalam dokumen Konsili Vatikan II (SC.107).

Istilah Tahun Liturgi dimengerti sebagai perayaan Gereja yang mengenangkan misteri karya penyelamatan Allah dalam Kristus dalam rangka perjalanan peredaran lingkaran tahun. Tahun liturgi juga mempunyai karakter sakramental. Melalui sakramen-sakramen yang dirayakan Sabda Allah diwartakan dan karya penyalamatan dihadirkan secara nyata dan berdaya guna bagi umat beriman seluruhnya.

3.1 Paska sebagai titik sentral dalam Tahun Liturgi

Tahun liturgi berpusat pada peristiwa Paska. Pada zaman para rasul Paska Yahudi (pembebasan dari perbudakan) dimaknai secara baru dengan Paska Kristus. Paska Kristus dimengerti sebagai Hari Kebangkitan Tuhan. Maka tidak mengherankan bahwa yang dirayakan hanyalah kebangkitan Kristus.

Namun, pada abad V-VII pemaknaan Paska tidak hanya dimengerti pada moment kebangkitan Tuhan, tetapi sengsara dan kematian ingin juga dirayakan dan dengannya disusunlah perayaan Trihari Suci. Ketiga peristiwa keselamatan ini dirayakan lebih intensif melalui suatu persiapan yakni Pekan Suci. Karena masa persiapan tersebut (Pekan Suci) dilihat pendek, dibentuklah masa Paska lima puluh hari, sehingga Pentakosta merupakan puncak seluruh masa Paska. Akhirnya dirasakan perlunya suatu masa untuk persiapan Paska, maka lahirlah Prapaska. Prapaska ditandai dengan pantang dan puasa. Dengannya, pengampunan dosa dan kebangkitan untuk hidup bersama Kristus sungguh ditekankan. Ini berarti bahwa umat Kristen meniru Kristus yang bangkit.

3.2. Natal dan Paska

Natal baru muncul pada abad IV. Pandangan umum mengenai Natal menunjukkan bahwa Gereja Roma mengkristenkan pesta kafir, hari kelahiran dewa Matahari (Solis Invicti) pada tanggal 25 Desember. Oarng Kristen meyakini bahwa Kristuslah Matahari sejati. Natal tidak dapat dipisahkan dari Paska. Natal merupakan awal Paska. Natal merupakan kelahiran yang membawa keselamatan dan keselamatan terpenuhi dalam Paska.

Sekaitan dengan Natal, pada abad IV, di Spanyol (di Gallia) ada suatu masa untuk mempersiapkan diri dalam menyambut kedatangan Tuhan untuk pengadilan, disebut masa Advent. Namun pada pertengahan abad VI liturgy Roma melihat masa Advent sebagai masa persiapan untuk Natal. Dengan demikian, Advent merupakan perayaan pengharapan akan kelahiran Tuhan dan kegembiraan akan kedatangan Tuhan.

.3 Perayaan-perayaan lain

perkembangan pemahaman atas karya keselamatan Allah dalam sejarah umat manusia yang diyakini oleh umat Kristen, memunculkan berbagai perayaan lainnya, yaitu Hari Minggu, Hari Minggu Trinitas (abad IV), Hari Raya Semua Orang Kudus(abad IX), Hari Raya kenaikan Maria ke Surga, Hari Raya Tubuh Kirstus (abad XIII), peringatan Maria dikandung Tanpa Dosa (abad XVIII), Hati Kudus Yesus (abad XIX) dan Kristus Raja (abad XX). Semuanya ini berpusat pada misteri Paska Kristus.

Penutup

Menyebutkan waktu sebagai sesuatu yang penting bagi kita tidak hanya memuat makna ekonomis saja, tetapi di seluruh waktu Allah menunjukkan karya penyelamatan kepada umat manusia. Demikianlah umat beriman kristiani melihat waktu sebagai kairos, waktu yang berahmat. Hingga akhirnya, umat beriman meyakni juga bahwa perayaan-perayaan liturgis yang dirayakan bukan hanya sebagai peringatan, penghadiran misteri Paska Kristus tetapi kelak kebersamaan bersama Allah selamanya terwujud.

Kepustakaan

Da Cunha, Bosco. Merayakan Karya Penyelamatan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Emmanuel, JS. Tahun Liturgi. Pematangsiantar: STFT St. Yohannes, 2003 (Diktat).

Martasudjita, E. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Raas, Bernhard. Liturgical Year. Vol.1. Manila: Logos Publication, 1998.

Selasa, 29 September 2009

APA ITU LITURGI ?

APA ITU LITURGI ?

Sumber : Pdt. DR. Andar Ismail, SELAMAT BERBAKTI, hal 32-34.

Apa itu liturgi? Sekitar empat ratus tahun sebelum kelahiran Yesus, kata itu sudah lazim dalam budaya Yunani-Romawi. Kata Leitourgia (Leos = rakyat, ergon = kerja) berarti kerja bakti yang dilakukan penduduk kota. Pada zaman itu liturgi berarti apa yang dibaktikan seseorang bagi kepentingan kehidupan bersama. Kemudian liturgi juga berarti pajak yang dibayar oleh warga negara. Sekitar tahun 300 sM kata liturgi mendapat arti yang lain, yakni ibadah dalam kuil. Beberapa ratus tahu kemudian para pengarang Perjanjian Baru memakai kata liturgi untuk ibadah atau kebaktian kepada Tuhan. Dalam Kisah Para Rasul 13 : 2 tertulis : “Pada suatu hari ketika mereka beribadah (Yunani : Leitourgounton) kepada Tuhan…” Dari situ kita sekarang mengenal kata liturgi dalam arti tata ibadah.

Namun tata ibadah bukan sekedar susunan mata acara dalam suatu ibadah. Tata berarti kaidah, sistem atau aturan. Jadi, meskipun untuk sebuah kebaktian dicetak kertas acara, namun jika susunan acara tidak berkaidah, maka dalam kebaktian itu sebenarnya tidak ada liturgi atau tata ibadah.

Apakah kaidah sebuah ibadah?

Kaidah pertama adalah keutuhan. Tiap mata acara ibadah perlu selaras atau menyambung dengan mata acara lainnya. Tiap mata acara juga berfungsi sesuai dengan tempatnya. Misalnya, lagu awal bersifat pujian sedangkan lagu akhir bersifat pengutusan. Yang lebih mendasar lagi, kaidah keutuhan perlu tampak dalam hakikat tiap mata acara. Hakikat bagian awal ibadah adalah undangan pihak Tuhan dan kedatangan pihak umat. Disinilah tempat untuk pujian, penyesalan, perendahan diri, pengakuan dosa, permohonan, dan pemberitaan anugerah. Hakikat bagian berikut adalah sapaan Allah. Di sini tempat pembacaan Alkitab, khotbah dan sakrament. Hakikat bagian akhir adalah tanggapan umat terhadap sapaan Allah. Dii sini tempat pengakuan iman, persembahan dan doa syafaat. Liturgi menolong kita beribadah secara utuh. Tanpa pemahaman liturgis, ibadah menjadi terpenggal dan janggal. Misalnya, adalah janggal kalau pada bagian awal kita sudah menaikkan doa syafaat, atau mengakhiri kebaktian dengan permohonan untuk dilayakkan oleh Tuhan.

Kaidah kedua adaklah timbal-balik. Setiap mata acara ibadah perlu tersusun dengan irama gilir-ganti, timbal balik atau sahut menyahut. Misalnya, dalam votum Allah menyatakan kehadiran-Nya, lalu segera setelah itu umat menanggapi kehadiran itu. Pembacaan Alkitab atau khotbah adalah lambang sabda Allah, segera setelah itu umat bersaat teduh. Allah menyapa, umat menyahut. Umat bicara, Allah menjawab. Bahkan sebenarnya dalam satu mata acara itu sendiri bisa terdapat sifat timbal-balik itu. Misalnya, doa bukan hanya umat bicara dan Allah mendengar, melainkan juga Allah berbisik dan manusia berdiam diri. Dengan kaidah timbal- balik ini umat bukan hanya menjadi penerima melainkan juga peserta aktif dalam ibadah. Di depan Allah, manusia bukan hanya obyek melainkan juga subyek.

Kaidah ketiga adalah keseimbangan. Kalau dua pihak berinteraksi, tidak ada pihak yang lebih dominan dari yang lain. liturgi menolong kita menyusun acara ibadah yang seimbang supaya jangan kita terus menyanyi tiada henti, supaya doa jangan berkepanjangan atau supaya khotbah jangan sampai mendominasi panjangnya kebaktian.

Jadi, liturgi bukan sekedar susunan mata acara ibadah yang sudah disiapkan. Liturgi adalah kaidah untuk ibadah, aturan untuk ibadah atau tata cara untuk ibadah. Dengan liturgi kita beribadah dengan persiapan dan pemahaman, bukan secara dadakan atau asal-asalan. Dengan demikian, kita menyanyi bukan asal bunyi dan berdoa bukan asal ngomong. Dengan demikian ibadah menjadi tertib, teratur, khidmat. Itulah maksud rasul Paulus ketika ia berpesan bahwa ibadah “harus berlangsung dengan sopan dan teratur” (I Kor. 14:50).

Senin, 28 September 2009

SIMBOL DALAM IBADAH

Simbol Dalam Ibadah

Oleh: Rasid Rahman (Dosen STT Jakarta/Pdt. GKI)

A. Simbol dan Bentuk-bentuknya

Simbol berasal dari kata Yunani, sym (bersama) dan balloo (melempar). Symballoo adalah ritus yang dilakukan di antar dua orang saudara (atau dua pihak) dengan melempar salah satu belahan dari lempengan ke tanah. Biasanya, dua orang saudara yang akan berpisah diberikan masing-masing sebelah dari satu lempengan; sebelah untuk adik dan sebelah lain untuk kakak. Jika beberapa puluh tahun kemudian, kedua kakak-adik tersebut bertemu, mereka akan saling melemparkan belahannya masing-masing ke tanah guna memastikan betul-tidaknya persaudaraan mereka. Ritus tersebut disebut symballoo, atau simbol.

Ritus simbol tersebut, selain memberikan bukti persaudaraan (bersifat obyektif), juga membangkitkan kenangan, sejarah, ikatan, dan kebersatuan (bersifat subyektif). Simbol bermain pada aras subyektif, selain aras obyektif. Perayaan liturgi berada pada wilayah simbol, di mana aras obyektif dilengkapi dan diperkaya oleh aras subyektif. Oleh karena itu, memperhatikan simbol merupakan proporsi liturgi. Penyelenggara perayaan liturgi: Majelis jemaat dan umat, hendaknya memperhatikan dan mementingkan simbol dalam liturgi. Tanpa simbol, maka liturgi menjadi kosong, sebab liturgi adalah simbol.

Liturgi menyimbolkan hadirnya umat dalam peristiwa Kristus. Kebaktian hari Minggu menyimbolkan hadirnya kita sendiri dalam kebangkitan Kristus. Kita turut menyaksikan (anamnesis) kebangkitan-Nya dua ribu tahun lalu. Namun pengertian tersebut belum dapat mewujudkan simbol itu sendiri. Oleh karena itu simbol harus diwujudkan dengan alat penghubung atau sarana komunikasi. Sarana simbol adalah jembatan; menjembatani masa lalu dengan masa kini. Pada gilirannya, sarana simbol sering disebut pula sebagai simbol.

A. Sarana-sarana Simbol

Segala sesuatu, baik benda maupun non benda, (hampir) dapat menjadi simbol dengan tambahan kenangan; kenangan biasanya bersifat subyektif baik personal maupun komunal. Sarana-sarana simbol dapat berupa apa saja, antara lain:

  1. Benda, misalnya: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman.
  2. Tanah atau misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas (ziarah) peristiwa 2000 tahun lalu, makam martir atau santo.
  3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
  4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
  5. Waktu, missal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
  6. Kata-kata dan nyanyian, misal: intonasi atau aksentuasi dalam membaca atau mengucapkan formula liturgis.

Simbol tak bertujuan pada dirinya, melainkan pada yang ditunjukkan oleh simbol. Roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus tetap saja roti dan anggur biasa, tanpa melihat pada yang ditunjuk oleh roti dan anggur tersebut, yakni peristiwa Kristus. Salib akan tetap menjadi pajangan, ornamen, dan hiasan, kecuali melihatnya ke balik yang disimbolkan olehnya. Duduk dan berdiri dalam liturgi hanya sebagai suruhan dan perintah tanpa memahaminya sebagai simbol mendengarkan dan menyambut.

B. Simbol di Gereja-gereja Protestan

Di gereja-gereja Protestan, simbol dalam praktik liturgi kurang mendapat tempat secara proporsional, padahal simbol penting dalam liturgi. Pengaruh histories yang seringkali menyesatkan kita telah memberikan pemahaman keliru bahwa orang Protestan bersikap anti simbol, sebab simbol adalah milik orang Katolik. Memang dahulu kala di zaman di zaman Reformasi, Calvin dibayang-bayangi oleh sikap anti-Katolik. Kaum Calvinis kemudian mengikuti sikap Calvin ini secara membabi buta, ekstrim, dan keliru dengan membuang semua hal yang berbau Katolik. Kebetulan, Gereja Roma Katolik – sekalipun bukan satu-satunya – banyak menggunakan simbol dan liturgi. Namun, kaum Calvinis secara ekstrim membuang semua hal tersebut, sehingga simbol-simbol lazim (padahal bukan dogma!) digunakan di Gereja Roma Katolik juga ikut ditolak oleh gereja-gereja Reformed. Akibatnya, gereja-gereja Protestan miskin simbol. Penggunaan dan menambah sedikit saja simbol dapat dicurigai kekatolik-katolikan. Padahal, jelas kita memang salah membaca Calvin dan sikap tersebut merugikan kita sendiri. Misalnya, nyanyian jemaat dinyanyikan dengan tidak utuh, duduk-berdiri melulu dilakukan dengan instruksi verbal, terlalu banyak instruksi verbal, kebaktian hanya dipahami “terbatas” pada khotbah.

Akibatnya, pelaksanaan liturgi menjadi tidak hidup, miskin, kurang gizi, bukan karena liturginya, melainkan karena pemahaman akan simbol tidak dikuasai oleh para penyelenggara, yaitu: Pelayan dan umat. Dalam liturgi, simbol adalah laksana darah dalam tubuh. Tanpa simbol, liturgi menjadi mati seperti tubuh tanpa darah.

C. Mengkomunikasikan Simbol

Secara praktis, gereja menggunakan simbol untuk menghadirkan kembali peristiwa Kristus. Simbol-simbol itu perlu dikomunikasikannya. Agar liturgi menjadi hidup, simbol wajib digunakan secara proporsional: Benar dan tepat. Caranya?

1) Minimalkan instruksi verbal: duduk, berdiri, dan sebagainya. Simbol pada dirinya sudah merupakan alat komunikasi sehingga tidak perlu mereduksi simbol menjadi verbalisme. Verbalisme menyebabkan simbol kehilangan fungsinya.

2) Nyanyikan nyanyian jemaat secara utuh: Semua bait. Simbol sebaiknya utuh disampaikan. Ketidakutuhan simbol menyebabkan ketidakutuhan informasi yang diperoleh.

3) Pergunakan daftar pembacaan Alkitab secara teratur menurut tahun liturgi atau leksionari, dan membacanya dengan baik.

4) Mengatur tata ruang ibadah (terutama ruang dalam) agar tidak menjadi halangan untuk mengkomunikasikan simbol umat.

Memang keempat hal tersebut bukan melulu persoalan praktik liturgi di semua gereja Protestan di Indonesia, namun keempat hal tersebut, saya menilai, merupakan masalah pokok mengapa praktik liturgi begitu “tidak menarik”. Menurut hemat saya, jika hal-hal tersebut diperbaiki, niscaya umat lebih menikmati perjumpaan dengan Allah, karena simbol terkomunikasi dengan tepat. Simbol memungkinkan jemaat tidak hanya menjadi penonton dan obyek, melainkan subyek di dalam liturgi.*