Senin, 28 September 2009

SIMBOL DALAM IBADAH

Simbol Dalam Ibadah

Oleh: Rasid Rahman (Dosen STT Jakarta/Pdt. GKI)

A. Simbol dan Bentuk-bentuknya

Simbol berasal dari kata Yunani, sym (bersama) dan balloo (melempar). Symballoo adalah ritus yang dilakukan di antar dua orang saudara (atau dua pihak) dengan melempar salah satu belahan dari lempengan ke tanah. Biasanya, dua orang saudara yang akan berpisah diberikan masing-masing sebelah dari satu lempengan; sebelah untuk adik dan sebelah lain untuk kakak. Jika beberapa puluh tahun kemudian, kedua kakak-adik tersebut bertemu, mereka akan saling melemparkan belahannya masing-masing ke tanah guna memastikan betul-tidaknya persaudaraan mereka. Ritus tersebut disebut symballoo, atau simbol.

Ritus simbol tersebut, selain memberikan bukti persaudaraan (bersifat obyektif), juga membangkitkan kenangan, sejarah, ikatan, dan kebersatuan (bersifat subyektif). Simbol bermain pada aras subyektif, selain aras obyektif. Perayaan liturgi berada pada wilayah simbol, di mana aras obyektif dilengkapi dan diperkaya oleh aras subyektif. Oleh karena itu, memperhatikan simbol merupakan proporsi liturgi. Penyelenggara perayaan liturgi: Majelis jemaat dan umat, hendaknya memperhatikan dan mementingkan simbol dalam liturgi. Tanpa simbol, maka liturgi menjadi kosong, sebab liturgi adalah simbol.

Liturgi menyimbolkan hadirnya umat dalam peristiwa Kristus. Kebaktian hari Minggu menyimbolkan hadirnya kita sendiri dalam kebangkitan Kristus. Kita turut menyaksikan (anamnesis) kebangkitan-Nya dua ribu tahun lalu. Namun pengertian tersebut belum dapat mewujudkan simbol itu sendiri. Oleh karena itu simbol harus diwujudkan dengan alat penghubung atau sarana komunikasi. Sarana simbol adalah jembatan; menjembatani masa lalu dengan masa kini. Pada gilirannya, sarana simbol sering disebut pula sebagai simbol.

A. Sarana-sarana Simbol

Segala sesuatu, baik benda maupun non benda, (hampir) dapat menjadi simbol dengan tambahan kenangan; kenangan biasanya bersifat subyektif baik personal maupun komunal. Sarana-sarana simbol dapat berupa apa saja, antara lain:

  1. Benda, misalnya: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman.
  2. Tanah atau misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas (ziarah) peristiwa 2000 tahun lalu, makam martir atau santo.
  3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
  4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
  5. Waktu, missal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
  6. Kata-kata dan nyanyian, misal: intonasi atau aksentuasi dalam membaca atau mengucapkan formula liturgis.

Simbol tak bertujuan pada dirinya, melainkan pada yang ditunjukkan oleh simbol. Roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus tetap saja roti dan anggur biasa, tanpa melihat pada yang ditunjuk oleh roti dan anggur tersebut, yakni peristiwa Kristus. Salib akan tetap menjadi pajangan, ornamen, dan hiasan, kecuali melihatnya ke balik yang disimbolkan olehnya. Duduk dan berdiri dalam liturgi hanya sebagai suruhan dan perintah tanpa memahaminya sebagai simbol mendengarkan dan menyambut.

B. Simbol di Gereja-gereja Protestan

Di gereja-gereja Protestan, simbol dalam praktik liturgi kurang mendapat tempat secara proporsional, padahal simbol penting dalam liturgi. Pengaruh histories yang seringkali menyesatkan kita telah memberikan pemahaman keliru bahwa orang Protestan bersikap anti simbol, sebab simbol adalah milik orang Katolik. Memang dahulu kala di zaman di zaman Reformasi, Calvin dibayang-bayangi oleh sikap anti-Katolik. Kaum Calvinis kemudian mengikuti sikap Calvin ini secara membabi buta, ekstrim, dan keliru dengan membuang semua hal yang berbau Katolik. Kebetulan, Gereja Roma Katolik – sekalipun bukan satu-satunya – banyak menggunakan simbol dan liturgi. Namun, kaum Calvinis secara ekstrim membuang semua hal tersebut, sehingga simbol-simbol lazim (padahal bukan dogma!) digunakan di Gereja Roma Katolik juga ikut ditolak oleh gereja-gereja Reformed. Akibatnya, gereja-gereja Protestan miskin simbol. Penggunaan dan menambah sedikit saja simbol dapat dicurigai kekatolik-katolikan. Padahal, jelas kita memang salah membaca Calvin dan sikap tersebut merugikan kita sendiri. Misalnya, nyanyian jemaat dinyanyikan dengan tidak utuh, duduk-berdiri melulu dilakukan dengan instruksi verbal, terlalu banyak instruksi verbal, kebaktian hanya dipahami “terbatas” pada khotbah.

Akibatnya, pelaksanaan liturgi menjadi tidak hidup, miskin, kurang gizi, bukan karena liturginya, melainkan karena pemahaman akan simbol tidak dikuasai oleh para penyelenggara, yaitu: Pelayan dan umat. Dalam liturgi, simbol adalah laksana darah dalam tubuh. Tanpa simbol, liturgi menjadi mati seperti tubuh tanpa darah.

C. Mengkomunikasikan Simbol

Secara praktis, gereja menggunakan simbol untuk menghadirkan kembali peristiwa Kristus. Simbol-simbol itu perlu dikomunikasikannya. Agar liturgi menjadi hidup, simbol wajib digunakan secara proporsional: Benar dan tepat. Caranya?

1) Minimalkan instruksi verbal: duduk, berdiri, dan sebagainya. Simbol pada dirinya sudah merupakan alat komunikasi sehingga tidak perlu mereduksi simbol menjadi verbalisme. Verbalisme menyebabkan simbol kehilangan fungsinya.

2) Nyanyikan nyanyian jemaat secara utuh: Semua bait. Simbol sebaiknya utuh disampaikan. Ketidakutuhan simbol menyebabkan ketidakutuhan informasi yang diperoleh.

3) Pergunakan daftar pembacaan Alkitab secara teratur menurut tahun liturgi atau leksionari, dan membacanya dengan baik.

4) Mengatur tata ruang ibadah (terutama ruang dalam) agar tidak menjadi halangan untuk mengkomunikasikan simbol umat.

Memang keempat hal tersebut bukan melulu persoalan praktik liturgi di semua gereja Protestan di Indonesia, namun keempat hal tersebut, saya menilai, merupakan masalah pokok mengapa praktik liturgi begitu “tidak menarik”. Menurut hemat saya, jika hal-hal tersebut diperbaiki, niscaya umat lebih menikmati perjumpaan dengan Allah, karena simbol terkomunikasi dengan tepat. Simbol memungkinkan jemaat tidak hanya menjadi penonton dan obyek, melainkan subyek di dalam liturgi.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar